Sekilas Penulis:

Liza Sandra Dewi, S.E., M.Si

Penulis merupakan kelahiran Bukittinggi, 14 Oktober 1981 yang bertempat tinggal di Lubuk Basung. Penulis merupakan ASN di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Agam selaku Kasubid Perencanaan Program. Penulis menyelesaikan pendidikan magister Perencanaan Pembangunan di Universitas Andalas Sumatera Barat tahun 2020 melalui Beasiswa Pusbindiklatren Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

...
Pengelolaan Danau Secara Partisipatif dengan Pendekatan Kolaboratif

Danau Maninjau merupakan danau prioritas yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam dengan luas 9.785,6 Ha. Danau vulkanik dengan ketinggian 461,50 mdpl ini merupakan sebuah kaldera dari letusan gunung api, yaitu Gunung Sitinjau. Danau ini berfungsi sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), pariwisata, perikanan tangkap, Keramba Jaring Apung, sumber air baku dan pertanian. Sebagai rumah bagi 17 jenis ikan, Maninjau mempunyai ikan endemik bernilai ekonomi yang cukup tinggi, yaitu rinuak (Psilopsis sp) dan ikan bada (Rasbora argyrotaenia). Potensi ini menjadikannya sebagai kawasan strategis Provinsi, dan dalam RPJMD Kabupaten Agam tahun 2016-2021 pengelolaan danau berkaitan dengan misi ke 6 (enam) tentang pembangunan berkelanjutan, berwawasan lingkungan, tata ruang, mitigasi bencana dan menjadikan Agam sebagai destinasi pariwisata unggulan.

Keberadaan Danau Maninjau memberi peran strategis dalam perekonomian masyarakat sekitarnya. Tapi sayangnya peran ini tidak diikuti dengan pelestarian lingkungan yang berkelanjutan.  Hasil perhitungan Indeks Status Trofik Perairan Danau Maninjau tahun 2017 oleh UPT Loka Alih Teknologi Penyehatan Danau LIPI, menunjukkan perairan danau termasuk dalam kategori eutrofik sedang cenderung berat yang berarti air telah tercemar oleh peningkatan kadar Nitrogen dan Fosfor. Perkembangan Keramba Jaring Apung yang sangat pesat setiap tahunnya menjadi penyumbang dalam pencemaran danau. Tingginya limbah bahan organik yang masuk ke dalam danau dari sisa pakan budidaya ikan yang dilakukan dengan keramba jaring apung menyebabkan menurunya kualitas air. Aktivitas KJA dari tahun 2001 hingga tahun 2013 menyumbangkan akumulasi limbah organik yang sangat besar di perairan danau, yaitu 111.899,84 ton (Junaidi et al., 2014).

Dalam Peraturan Bupati Agam No 5 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Kelestarian Kawasan Danau Maninjau disebutkan Daya Dukung dan Daya Tampung untuk KJA di kawasan danau mengacu pada kemampuan perairan Danau Maninjau mencerna limbah organik dari kegiatan perikanan yang setara dengan 1.500 (Seribu Lima Ratus) unit dan/atau 6.000 (enam Ribu) petak dengan ukuran 5x5 (lima kali lima) meter persegi per petak karamba. Sementara jumlah KJA yang terdata hingga tahun 2019 adalah sebanyak 17.800 petak.

Produktivitas perikanan keramba cenderung meningkat, namun kerugian yang ditimbulkan akibat kematian ikan setiap tahunnya juga cukup tinggi. Dalam cuaca yang buruk dan adanya angin darekdanau akan mengalami fenomena up welling atau di daerah lokal dikenal dengan tubo balerang. Hal ini mengakibatkan terjadinya pembalikan massa air, sehingga sisa bekas letusan vulkanik dan akumulasi bahan organik dari pakan ikan yang mengendap di dasar danau akan naik ke permukaan, yang mengakibatkan berkurangnya kadar oksigen air dan berujung kematian massal pada ikan. Selama tahun 2020 tercatat terjadi 4 (empat kali) fenomena tubo balerang dengan jumlah kematian massal ikan sebanyak 148 ton.

Dampak paling nyata lainnya adalah di bidang pariwisata. Maninjau dengan segala keelokannya, tidak lagi menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk berkunjung. Pencemaran dan kematian massal ikan telah menurunkan jumlah kunjungan wisata ke Maninjau yang berakibat gulung tikarnya beberapa pengusaha home stay disekitaran Danau Maninjau. Penelitian Putri (2015) dalamEndahdan Nadjib (2017) kerusakan dan pencemaran Danau Maninjau telah menyebabkan hilangnya nilai ekonomi dari sektor pariwisata seebesar Rp. 14.965.050.000 per tahun.

Apa yang terjadi di Maninjau bisa digambarkan sebagaitragedy of commons (tragedi kepemilikan bersama), sebuahkonsep yang dipopulerkan Garrett Hardin (1968) menunjukkan situasi pemanfaatan sumber daya bersama (commons) di mana setiap individu bertindak demi keuntungan pribadi sehingga menyebabkan berkurangnya sumber daya tersebut. Tragedi kepemilikan bersama merupakan perangkap sosial yang biasanya berkaitan dengan masalah ekonomi yang menyangkut konflik antara kepentingan individu dengan barang milik umum. Ini merupakan metafora yang menggambarkan akses bebas dan tidak berbatas terhadap sumber daya alam akan berujung kepada eksploitasi berlebih terhadap sumber daya. Hal ini dipicu dengan pemikiran bahwa sumber daya alam adalah miliki bersama, siapapun berhak memanfaatkannya.

Berbeda dengan pengelolaan kawasan daratan di Maninjau yang terikat dengan hukum adat, dimana ada kawasan yang boleh untuk dieksploitasi dan yang tidak boleh dieksploitasi, sehingga ekosistem daratan di Maninjau cukup terjaga. Sebagaimana yang dinyatakan dalam penelitian Endah dan Najib (2017) bahwa masyarakat sekitaran Danau Maninjau pada umumnya memiliki budaya darat, yang terlihat jelas dalam pengelolaan kebun atau hutan oleh aturan adat yang cukup kompleks. Kawasan perairan danau Maninjau tidak mempunyai hukum adat yang mengatur lebih detail penggunaan danau. Kebiasaan yang dipakai secara turun temurun adalah perairan danau dimiliki oleh pemilik tanah di sempadan danau sepanjang satu lemparan batu, atau dalam istilah lokal dikenal dengan sapambaean. Diluar daerah 1 lemparan batu merupakan kawasan umum yang bisa dimanfaatkan oleh siapapun juga.Adanya open acces ini membuka kesempatan pada investor-investor dari luar Maninjau untuk ikut berpartisipasi dalam bisnis Keramba Jaring Apung ini, sehingga banyak penduduk lokal yang malah bergeser menjadi pekerja. Hal ini sejalan dengan apa yang dipaparkan Endah dan Nadjib (2017) bahwa danau tidak hanya dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, tapi investor dari luar Kabupaten Agam mulai memanfaatkan Danau Maninjau. Tapi sayang tidak ada pengelolaan yang jelas dan tegas, sehingga stakeholder  cenderung melakukan eksploitasi berlebihan. Teori perilaku menyatakan, stakeholder  akan bersaing dalam memperoleh keuntungan besar dari sumber daya tidak bertuan seperti  danau (Ostrom, 1990).

Berbagai program sudah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Agam dalam menanggulangi pencemaran danau Maninjau ini, salah satunya adalah dengan gerakan Save Maninjau yang diatur secara lengkap dalam Keputusan Bupati Agam Nomor 156 Tahun 2017 tentang Tim Terpadu Penyelamatan Danau Maninjau. Tapi sayangnya, tingkat partisipasi masyarakat dalam menunjang keberlangsungan program ini sangat rendah. Jika digambarkan dari 8(delapan) tangga partisipasi Arnstein, partisipasi masyarakat dalam program ini hanya berada pada tangga ketiga yaitu Informing, dimana hanya terjadi komunikasi satu arah antara pemerintah dan masyarakat, informasi sudah diberikan tapi sayangnya feedback yang diberikan masyarakat tidak akan mempengaruhi program (nanda, 2018).

Rendahnya tingkat pasrtisipasi masyarakat ini menggambarkan dominasi dari pemerintah dalam membuat kebijakan yang memicu rendahnya rasa kepemilikan dan tanggung jawab masyarakat terhadap program yang dijalankan. Djoeffan (2002) memaparkan, tidak terlibatnya masyarakat dalam menentukan suatu program akan menimbulkan jarak antara pemerintah dan masyarakat, ketidaksesuaian perencanaan dengan kebutuhan dan kapasitas lokal, penggunaan sumberdaya yang tidak efisien, adanya krisis kepercayaan akan berujung kepada kegagalan pelaksanaan program.  Dilain pihak, keterlibatan aktif masyarakat dalam tahapan perencanaan program akan mengurangi konflik dan meningkatkan keterlibatan dalam pelaksanaan program (Noer, 2006).Topdown Policy bukanlah hal yang tepat dilakukan dalam mengatasi permasalahan danau ini. Pengurangan KJA menjadi 6000 petak akan menjadi hal yaang mustahil dilakukan dengan metode ini. Tolak menolak antara masyarakat dan pemerintah akan menjadi permasalahan yang cukup alot. Karena ketergantungan kehidupan sosial ekonomi masyarakat terhadap KJA  ini sangat tinggi, ditambah lagi modal yang dikeluarkan untuk pembangunan KJA cukup besar.

Masyarakat Minangkabau yang dibesarkan dengan jiwa musyawarah untuk mufakat, sangat menjunjung tinggi keputusan yang dilakukan secara bersama. Pendekatan secara negoisasi perlu dilakukan, terutama kepada tokoh-tokoh masyarakat, ninik mamak, alim ulama yang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting. Perlu adanya kolaborasi hukum adat dan peraturan pemerintah yang saling besinergi dalam pengelolaan danau ini. Penerapan hukum adat daratan seperti yang diterapkan di Nagari Kapau Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam, mungkin bisa diterapkan dalam hal ini. Dimana pemanfaatan danau hanya boleh dialokasikan untuk kepentingan anak kemenakan daerah salingka Danau Maninjaudengan syarat harus memperhatikan pemeliharaan ekosistem danau berkelanjutan.

Pembatasan penggunaan lahan oleh pendatang atau investor bisa dilakukan dengan pelaksanaan hukum adat ini. Pelanggaran yang dilakukan bisa menyebabkan seseorang dijatuhi hukuman adat, seperti dibuang suku, yang artinya dikeluarkan dari hukum kekerabatan daerah tersebut. Jadi dalam hal ini ninik mamak, dan tetua adat akan sangat berperan dalam memperbolehkan siapa yang boleh dan siapa yang tidak boleh memanfaatkan danau. Memberikan peran yang cukup luas bagi masyarakat itu sendiri dalam pengelolaan danau secara bertanggung jawab, akan meningkatkan kesadaran dan rasa kepemilikan terhadap program yang dilaksanakan, tentunya dengan tetap memberi porsi yang penting bagi pemerintah daerah setempat. Para pengambil keputusan harus mengenali pentingnya peran aktor lokal dan kearifan lokal sebagai pemegang peranan dalam pengelolaan danau berkelanjutan (ENDS dan Gomukh, 2005)

Hal ini juga bisa dikolaborasikan dengan aturan dan kebijakan dari Pemerintah dengan penerapan izin bagi pengusaha KJA dengan pembatasan maksimal jumlah keramba, contohnya untuk satu izin yang diajukan hanya boleh untuk maksimal 12 petak karamba. Karena dari apa yang terjadi dilapangan sekarang ini, jumlah KJA bisa mencapai ratusan untuk satu pengusaha. Hal ini harus dibarengi dengan tetap melakukan penyuluhan dan sosialisasi mengenai daya dukung daya tampung danau dan pengelolaan danau berkelanjutan. Hal ini memang tidak akan mengurangi jumlah KJA secara drastis, tapi secara bertahap akan dapat mengurangi jumlah KJA. Penerapan solusi pengelolaan kolaboratif dengan pendekatan adaptif dan negosiasi ini diharapkan dapat menampung semua kepentingan stakeholderyang beragam terhadap danau.

Satu hal yang menjadi masalah bagi pengusaha KJA adalah, ketergantungan perekonomian terhadap hasil KJA. Pengurangan KJA tanpa adanya solusi bagi pengusaha KJA bukanlah hal yang bijak. Maninjau sebelum adanya Karamba merupakan penghasil cengkeh, kulit manis dan tanaman sejenis lainnya yang cukup sukses dimasa lalu. Adanya wabah penyakit “penggerek batang” dan kemerosotan harga cengkeh dan kayu manis mengakibatkan petani beralih profesi menjadi petani KJA. Mengembalikan fungsi lahan menjadi perkebunan cengkeh dan kulit manis bisa menjadi solusi jangka panjang agar minat petani KJA kembali beralih fungsi menjadi petani cengkeh dan kulit manis. Apa yang dilakukan Koperasi Alko dengan melakukan proyek contoh dalam mengangkat kopi alam Korintji dan menjadikan kopi sebagai pendapatan andalan, sebagai produk penyangga ekonomi masyarakat Kerinci dapat dijadikan acuan untuk kasus di Maninjau. Dimana akhirnya akan menarik petani-petani milenial yaitu anak-anak muda yang bangga menjadi petani, danmampu mengembangkan pertanian dan agrowisata di salingka danau Maninjau.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Djoeffan, S.H. 2002. Strategi Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Pembangunan di Indonesia. Mimbar Jurnal Sosial. Vol XVIII(1): 54 – 77

ENDS, Both and Gomukh. (2005). River basin management a negotiated approach. Edited by Both ENDS. Amsterdam, the Netherland: Mudra Multicolor offset Printers.

Hardin, G. 1968. The Tragedy of the Commons. http:// www.jstor.org/stable/1724745.

Junaidi, Syandi, H & Azrita.2014. Loading and Distribution of Organic Materials in Maninjau Lake, West Sumatera Province, Indonesia. Journal of Aqualculture, 5(7), 278.

Nanda, Luce Dwi, Tan, Firwan, & Noer, Melinda. (2019). Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Program Penyelamatan Dan Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan Danau Maninjau. Jurnal Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan, 8(2), 105–115. https://doi.org/10.15578/jksekp.v8i2.7432.

NH Endah dan M. Nadjib. 2017.  Pemanfaatan dan Peran Komunitas Lokal dalam Pelestarian Danau Maninjau Jurnal Ekonomi dan Pembangunan. - jurnalekonomi.lipi.go.id.

Noer, M. 2006. Pembangunan Berbasis Kelembagaan Adat: Sebuah Alternatif Pembelajaran dari Kasus Kinerja Kelembagaan Nagari dalam Perencanaan Wilayah di Propinsi Sumatera Barat. Mimbar Jurnal Sosial Volume XXII(2): 234 – 257. ejournal. unisba.ac.id. (diakses 10 Oktober 2017).

Ostrom, E. 1990. Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action (Political Economy of Institutions and Decissions). Cambridge: Cambridge Univerity Press

Pemerintah Kabupaten Agam, Peraturan Daerah Kabupaten Agam Nomor 6 Tahun 2016 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menegah Daerah Tahun 2016-2021

_______,  Peraturan Daerah Kabupaten Agam Nomor 156 Tahun 2017 tentang Tim Terpadu Penyelamatan Danau Maninjau

_______, Peraturan Bupati Agam No 5 Tahun 2014 tentang Pengelolaan kelestarian kawasan danau maninjau

Pemerintah Propinsi Sumatera Barat, Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 13 Tahun 2012 tentang Tata Ruang Wilayah Propimsi Sumatera Barat Tahun 2012-2032