Sekilas Penulis:

Meilinda, S.T., M.T

Penulis merupakan kelahiran Padang, 24 Mei 1979 yang bertempat tinggal di Lubuk Basung. Penulis merupakan Kepala Bidang Ekonomi, Penataan Ruang, Lingkungan Hidup dan Prasarana Wialayah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Agam. Penulis menyelesaikan pendidikan Magister Sains (M.Si) program studi Perencanaan Pembangunan Tailor Made Bappenas, Universitas Andalas tahun 2008. Saat ini, Penulis sedang menempuh program Doktoral “Studi Pembangunan” Universitas Andalas sejak tahun 2021 dengan judul disertasi “ Model pemulihan danau dengan mempertimbangkan nilai intrinsik untuk keberlanjutan kehidupan (studi kasus Danau Maninjau)”

...
TRAGEDI DANAU MANINJAU, REDUPNYA KEKAYAAN ALAM DAN PENGETAHUAN LOKAL

Danau Maninjau, merupakan bagian dari sejarah bangsa dan pariwisata Indonesia, bahkan dunia. Pada tahun 1990-an, melalui program “Visit Indonesian Year”, keindahan Danau Maninjau mampu menarik wisatawan domestik maupun mancanaegara sebanyak 5 juta pengunjung setiap tahunnya Beberapa pahlawan nasional Indonesia seperti Buya Hamka, Rasuna Said, Mohammad Natsir, Mohammad Isa Anshari, novelis terkenal Ahmad Fuadi berasal dari negeri ini.  Maninjau menjadi pusat studi banding dan pembelajaran agama Islam dari seluruh dunia hingga akhir 1980-an. Hal ini menunjukkan  kekayaan alam Maninjau selaras dengan kekayaan inteletual masyarakatnya. Kebanggaan keindahan  alam, kultur budaya dan nilai religius masyarakat Maninjau, diceritakan Buya Hamka melalui tulisan beliau “Kenang-kenangan hidup” pada tahun 2018. Buya Hamka, seorang tokoh dunia yang berasal dari Sungai Batang, Maninjau mengungkapkan Danau Maninjau merupakan danau yang sejuk, dengan air yang biru, dikelilingi dengan hutan yang lebat.Masa kecil Buya Hamka dipenuhi oleh  mensykuri keindahan danau, bermain di tapian danau sambil mendengarkan tambo dari kakek beliau. Tambo adalah karya sastra sejarah yang merekam kisah-kisah legenda-legenda yang berkaitan dengan asal usul suku bangsa, negeri dan tradisi dan alam Minangkabau. Keindahan alam,sifat gotong royong, keramahan masyarakat Maninjau dan filosofi  Minangkabau“Alam Takambangjadi Guru”, diungkapkan Buya Hamka melalui pantun:

“Maninjau, padilah masak.

Batang kapas bertimbal jalan;

Hati risau dibawa gelak,

bagai panas mengandung hujan”

(Hamka, 2018)

Pantun ini menggambarkan keindahan lanskap sawah Maninjau yang menjadi mata pencaharian utama masyarakatnya, semangat gotong royong, keramahtamahan  dan perlindungan terhadap lingkungan melalui  tanaman produktif, batang kapas, yang memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal.  Kemasyhuran Buya Hamka dan falsafah kehidupan yang dikembangkan beliau saat ini juga meredup dan tidak terwariskan. Sebahagian besar generasi muda Maninjau, bahkan tidak terlalu mengenal sosok beliau.

Saat ini, kondisi Danau Maninjau benar- benar menjadi bagian “Tragedy of Commons”. Istilah yang dipopulerkan Garreth Hardin pada tahun 1968. Tidak adanya pengaturan terkait kepemilikan sumber daya umum, mengakibatkan sumber day aini dieksploitasi sebesar-besarnya untuk memenuhi kepentingan manusia. Manusia, merupakan sistem yang kompleks, yang dianugerahi oleh Allah rasa “freedom” sehingga cenderung egois dan mengeksploitasi sumber daya alam tanpa memikirkankerusakan yang terjadi dan keberlanjutannya.

Danau Maninjau saat ini menjadi satu-satunya danau di Indonesia yang memiliki ekosistem perairan paling rusak. Status perairan danau adalah eutrofik berat dengan status mutu air tercemar berat. Status eutrofik menunjukkan kadar unsur hara di perairan danau. Logam berat di perairan danau dan padatubuh ikan, ditemukan melampaui baku mutu.Keanekaragaman hayati danau hanya dapat hidup pada status mesotrofik (kandungan hara normal). Dengan status perairan Danau Maninjau saat ini, danau tidak mampu lagi mendukung kehidupan manusia dan mengancam kehidupan keanekaragaman hayati danau. Jika pada tahun 1916 di Danau Maninjau terdapat 33 spesies, pada tahun 1978 menjadi 18 spesies, pada tahun 2008 menjadi 14 spesies dengan 6 spesies asing baru (Roesma et al., 2021). Penurunan kualitas Danau Maninjau dan ekosistemnya, menjadikan Danau Maninjau ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional, 5 danau prioritas nasional yang harus diselamatkan dan menjadi satu dari 3 program prioritas daerah Kabupaten Agam.

Berdasarkan perhitungan inventarisasi beban pencemar, polutan terbesar bersumber dari limbah pakan keramba jaring apung(KJA). Jumlah KJA  hingga Bulan Juli tahun 2022 adalah sebanyak  23.359 petak KJA, jauh melebihi daya dukung danau sebesar 6.000 petak. Jumlah limbah pakan yang masuk ke perairan danau rata-rata sebesar 11,606.4 ton/tahun atau 48,36 ton/hari (Syandri, 2016). Rata-rata jumlah limbah organik yang dihasilkan per panen adalah 200 kg/panen/petak (Syandri, 2021).

Manusia adalah aktor utama terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan, termasuk danau. Hal ini dinyatakan dalam Al Qur’an :

 “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.( Qs Ar Ruum:41).

Ditinjau dari sistem manusia, pembangunan individu meliputi dimensi umum dan pribadi, ekonomi, sosial, politik dan spiritual (Sabina Alkire, 2002). Ketika salah satu aspek ini terabaikan, maka akan berakibat terhadap perilaku manusia  (Bossel, 1999).  Aspek spiritual, selama ini terabaikan dalam kebijakan pembangunan.Tidak ada satupun indikator tujuan pembangunan berkelanjutan terkait pengetahuan ekologi lokal atau kearifan lokal.  Pengetahuan ekologi lokal atau kearifan lokal adalah bagian dari spiritual manusia. Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan ekologi lokal (Berkes et al., 1994)(Fath & Jørgensen, 2020)(Varghese & Crawford, 2021)(Aswani et al., 2018).Ditinjau daridokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi Sumatera Barat dan Kabupaten Agam Tahun 2021-2014, melemahnya institusi adat dan filosofi Minangkabau yaitu “Adat Basandi Syarak dan Syarak Basandi Kitabullah “ serta “Alam Takambang jadi Guru” merupakan salah satu isu pembangunan daerah.

Keberadaan masyarakat adat dan hak tradisionalnya dilindungi oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 B:

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Minangkabau merupakan etnik asli Sumatera Barat dengan adat istiadat dan sistem pemerintahan yang unik. Salah satu keunikannya,  masyarakat Minangkabau menganut sistem kekerabatan matrilineal, berbeda dengan sistem kekerabatan pada sebahagian besar wilayah Indonesia yang menganut sistem patrilineal  (Saleh, Ramza, & Abdul Kadir, 2015). Berbeda dengan negara barat, nilai demokrasi Minangkabau tidak bersifat individual, namun kolektif dan sentrifugal  (von Benda-Beckmann, 1978) (Navis, 1984) (Saleh, Ramza, & Abdul Kadir, 2015). Keputusan tertinggi terletak pada mufakat yaitu saiyo sakato atau seiya sekata. mufakat dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, berdasarkan asas kebenaran. Seperti ungkapan :

Kamanakan barajo ka mamak

Mamak barajo ka penghulu

Penghulu barajo ka mupakaik

Mupakaik barajo ka alua jo patuik

Masyarakat Maninjau, dulunya terkenal dengan tradisi pelakat sawah, yaitu turun bersama ke sawah, membersihkan bagian hulu irigasi sawah dengan bergotong royong, penanaman padi serentak. Tradisi ini menjaga sifat kebersamaan dan menjaga sawah dari serangan hama. Tradisi ini perlahan tergerus arus modernisasi, seiring dengan bergantinya alat tradisional menjadi alat modern.

Nagari, sebutan desa di Sumatera Barat,  merupakan komunitas sosial adat yang berorientasi kerakyatan dan demokrasi yang berasal dari bawah dan terlembaga dalam kehidupan masyarakat. Nagari di Minangkabau ibarat sebuah republik kecil yaitu menjalankan sistem sosial dan politiknya sendiri (Saleh, Ramza, & Abdul Kadir, 2015). Nagari memiliki kewenangan untuk mengatur peraturan dan dasar kehidupan bernagari tanpa intervensi siapapun. Suatu komunitas, dapat disebut nagari, seperti yang tergambar dalam ungkapan :” babalai bamusajik, basuku banagari, bakarong bakampuang, bahuma-babendang, balabuah batapian, basawah baladang, bahalaman-bapamedanan dan bapandam-bapusaro” .Jika ditinjau dari persyaratan Nagari tersebut,  terjadi degradasi dan kehilangan aspek Nagari di Provinsi Sumatera Barat , termasuk Kecamatan Tanjung Raya. Pelestarian Nagari, institusi adat dan kearifan lokal yang ada saat ini hanyalah bersifat seremonial (Parpatiah, 2022)(Navis, 1984).Arus modernisasi, pergeseran sistem nagari menjadi bagian pemerintahan, mengakibatkan peran penghulu sebagai pemegang pemerintahan nagari dan pemimpin secara kolektif memudar.  Kondisi ini mengakibatkan terputusnya warisan kearifan lokal antara ninik mamak, penghulu dan kemenakan. Falsafah Minangkabau terdiri atas simbol dan makna (Parpatiah, 2022). Saat ini, generasi muda cenderung merasionalkan peribahasa dan simbol Minangkabau. Contohnya ungkapan peribahasa  Minangkabau :“duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapang-lapang.". Peribahasa ini mencerminkan sifat kebersamaan masyarakat Minangkabau yaitu menyelesaikan persoalan berat akan terasa susah kalau sendiri, tetapi akan menjadi mudah jika ada pihak lain yang ikut membantu. Jika ini dirasionalkan, maka seharusnya jika duduk sendirilah yang berlapang-lapang Simbol, nilai dan makna falsafah Minangkabau inilah yang terputus pewarisannya terhadap generasi muda. Komunitas Minangkabau kehilangan identitas dan jati dirinya (Parpatiah, 2022).

Nagari di Minangkabau mempunyai tanah ulayat. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Sumbar Nomor 6 Tahun 2008 tentang tanah ulayat dan pemanfaatannya, tanah ulayat adalah bidang tanah pusaka beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dan di dalamnya diperoleh secara turun temurun merupakan hak masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Barat. Tanah ulayat   berada di bawah kekuasaan penghulu, yaitu penghulu andiko atau penghulu keempat suku (Navis, 1984). Tanah ulayat bukan merupakan pusako dari suku, tetapi komunitas secara keseluruhan (Benda-beckmann, 2013). Pengelolaannya diatur berdasarkan hukum adat. Penggunaan hasil pungutan bea ulayat nagari ditentukan penghulu keempat suku. Tanah ulayat dapat digarap oleh orang luar jika ulayat itu tidak mampu digarap oleh warga nagari tersebut.Berdasarkan aturan tersebut, Danau Maninjau merupakan tanah ulayat salingka nagari Maninjau, yang pengelolaannya seharusnya diatur berdasarkan adat. Namun, hingga saat ini, tidak terdapat pengaturan terkait pemanfaatan danau berdasarkan adat. Investor luar Maninjau  dan masyarakat lokal melaksanakan penggarapan terhadap danau tanpa didasari oleh prinsip tanah ulayat.

Seperti ungkapan Benda Beckmann :

“what type of nagari one should go back, how the representatives of the village parliament are to be chosen, what the role of the Village Adat Council will be and to what extent rights to village land (ulayat) are to be recognised and revitalised and who will hold them” (Benda-Beckmann & Benda-Beckmann, 2001).

Guna merespon isu pembangunan daerah terkait Danau Maninjau dan melemahnya institusi adat, beberapa intervensi program dan kegiatan yang dapat ditempuh adalah mengintegrasikan kembali nilai budaya dan ketokohan Minangkabau melalui kurikulum lokal, menggali kembali aspek pengetahuan ekologi lokal (kearifan lokal) berdasarkan karakteristik masing-masing nagari, melestarikan kembali tambo dan cerita lokal serta mengembalikan pengaturan terkait pengelolaan danau kepada institusi adat. Hal yang harus disadari dalam penyusunan kebijakan pembangunan, setiap komunitas memiliki realitas sosial yang berbeda-beda, sehingga kebijakan pembangunan tidak dapat digeneralisasi untuk semua komunitas. Adat adalah kekayaan budaya dan identitas komunitas Minangkabau, yang seharusnya menjadi pertimbangan dalam setiap penyusunan kebijakan pembangunan.Generasi muda Minangkabau adalah tongkat estafet kepemimpinan adat Minangkabau di masa depan. Pendekatan pelstarian pengetahuan ekologi lokal dan kepahlawanan Minangkabau, masih bersifat seremonial. Melestarikan adat, tokoh kepahlawanan Minangkabau dan tradisi Minangkabau melalui penguatan kembali institusi adat, baliak ka surau, tambo dan pengintegrasian kembali nilai budaya lokal merupakan salah satu jalan menumbuhkan kembali nilai kebersamaan, gotong royong, aspek kepemimpinan yang menjadi kekuatan komunitas Minangkabau.